Setiap kali kita menyelesaikan ibadah, baik itu shalat, puasa, sedekah, maupun amalan kebaikan lainnya, seringkali terbesit sebuah pertanyaan penting di dalam hati: "Apakah amalku diterima oleh Allah?" Perasaan ini wajar, karena tujuan utama dari setiap ibadah adalah untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Kekhawatiran ini bukanlah tanda lemahnya iman, melainkan bukti kesadaran kita sebagai hamba yang senantiasa mengharap rahmat-Nya. Oleh karena itu, memanjatkan doa agar amal diterima Allah menjadi sebuah kebutuhan mutlak, sebuah penyempurna dari ikhtiar yang telah kita lakukan. Doa ini adalah jembatan antara usaha kita yang terbatas dengan rahmat Allah yang tak terbatas. Memahami Makna di Balik Diterimanya Amal Ibadah Ketika kita berbicara tentang "diterimanya amal", kita seringkali membayangkannya dalam konteks transaksional; kita berbuat baik, lalu kita mendapat pahala. Namun, konsep penerimaan amal dalam Islam jauh lebih dalam dan bermakna. Diterimanya amal bukanlah sekadar pencatatan pahala, melainkan sebuah tanda keridhaan (ridha) dan cinta Allah kepada hamba-Nya. Ini berarti, usaha yang kita lakukan, sekecil apapun, dipandang dengan kasih sayang oleh Sang Pencipta. Tanpa penerimaan dari-Nya, amal sebanyak buih di lautan pun tidak akan memiliki nilai. Penerimaan ini sangat erat kaitannya dengan dua pilar fundamental: keikhlasan niat (ikhlas) dan kesesuaian cara (ittiba'). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5). Ayat ini menegaskan bahwa fondasi utama dari setiap ibadah adalah ketulusan yang murni, hanya mengharap wajah Allah, bukan pujian manusia, sanjungan, atau imbalan duniawi. Amal yang diterima adalah amal yang bersih dari noda-noda riya', sum'ah, dan tujuan-tujuan selain Allah. Lebih jauh lagi, amal tersebut haruslah sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW. Inilah yang disebut dengan ittiba'. Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam tata cara beribadah. Sebuah amalan, meskipun dilakukan dengan niat yang sangat tulus, bisa menjadi sia-sia jika tata caranya menyalahi atau tidak memiliki dasar dari sunnah beliau. Keseimbangan antara niat yang lurus dan cara yang benar inilah yang menjadi kunci utama pintu penerimaan amal di sisi Allah SWT. Kunci Utama Agar Amal Ibadah Tidak Sia-sia 1. Niat yang Ikhlas Semata karena Allah Inilah fondasi dari segala amalan. Ikhlas berarti membersihkan tujuan beramal dari segala sesuatu selain Allah. Niat kita murni untuk mencari ridha-Nya, mengharap pahala dari-Nya, dan takut akan azab-Nya. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang sangat populer, “Innamal a'maalu binniyyaat,” yang artinya, “Sesungguhnya setiap amalan bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjadi pengingat abadi bahwa kualitas spiritual sebuah tindakan ditentukan oleh apa yang tersembunyi di dalam hati. Niat yang ikhlas adalah perjuangan seumur hidup. Godaan untuk pamer (riya') atau ingin didengar kebaikannya oleh orang lain (sum'ah) selalu mengintai. Contoh sederhana, seseorang yang bersedekah dengan jumlah besar namun hatinya berharap agar disebut sebagai dermawan, maka amalnya bisa terancam hangus. Sebaliknya, seseorang yang bersedekah dengan recehan terakhir di sakunya, namun dilakukan dengan tulus ikhlas karena Allah, nilainya bisa jauh lebih besar di sisi-Nya. Oleh karena itu, kita harus senantiasa memeriksa dan memperbarui niat kita sebelum, saat, dan sesudah beramal. 2. Sesuai dengan Tuntunan Rasulullah SAW (Ittiba') Syarat kedua yang tak terpisahkan dari ikhlas adalah ittiba', yaitu mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman, “Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'.” (QS. Ali 'Imran: 31). Ayat ini secara jelas mengaitkan cinta kepada Allah dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Mengikuti Rasulullah berarti menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang beliau ajarkan, baik dalam bentuk, waktu, jumlah, maupun tata caranya. Setiap ibadah mahdhah (ibadah murni seperti shalat, puasa, zakat, haji) memiliki aturan yang sudah baku. Kita tidak boleh menambah atau mengurangi aturannya sesuai selera. Misalnya, kita tidak bisa menambah rakaat shalat Subuh menjadi tiga rakaat dengan alasan ingin lebih khusyuk. Perbuatan semacam itu, yang tidak ada contohnya dari Rasulullah, disebut dengan bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan yang dapat membuat amal tertolak. Mencari ilmu agama yang shahih menjadi sebuah keharusan agar kita bisa beribadah di atas landasan yang benar, bukan sekadar ikut-ikutan tanpa dasar. 3. Bersih dari Syirik dan Perbuatan yang Membatalkan Amal Amal saleh ibarat bangunan megah. Namun, ada satu hal yang bisa merobohkan bangunan itu hingga tak bersisa, yaitu syirik. Syirik, atau menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, adalah dosa terbesar yang tidak akan diampuni jika seseorang meninggal dalam keadaan belum bertaubat darinya. Syirik dapat menghapus seluruh amal kebaikan yang pernah dilakukan. Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar: 65). Selain syirik akbar (syirik besar), ada juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak atau bahkan membatalkan pahala amal. Di antaranya adalah mengungkit-ungkit sedekah yang telah diberikan (al-mann) dan menyakiti perasaan si penerima (al-adza). Perbuatan ini menunjukkan ketidakikhlasan dan merusak nilai kebaikan yang telah dilakukan. Sifat sombong dan merasa lebih baik dari orang lain juga menjadi penyakit hati yang berbahaya, karena kesombongan dapat menghalangi seseorang dari rahmat Allah dan membuat amalnya tidak dipandang. Lafal Doa Agar Amal Diterima Allah yang Diajarkan para Nabi Setelah berusaha memenuhi syarat-syarat di atas, langkah selanjutnya adalah bertawakal dan memohon kepada Allah dengan kerendahan hati. Para nabi dan orang-orang saleh terdahulu, meskipun kualitas ibadah mereka jauh di atas kita, justru adalah orang-orang yang paling sering memanjatkan doa ini. Mereka sadar sepenuhnya bahwa amal mereka tidak ada apa-apanya tanpa penerimaan dari Allah. 1. Doa Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS Ini adalah salah satu doa paling ikonik dalam Al-Qur'an. Doa ini dipanjatkan oleh Khalilullah (kekasih Allah), Nabi Ibrahim AS, bersama putranya, Nabi Ismail AS, ketika mereka sedang melaksanakan perintah agung: meninggikan fondasi Ka'bah. Meskipun mereka sedang mengerjakan amal yang luar biasa mulia, mereka tetap menundukkan kepala dan berdoa: > رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ>> Rabbanaa taqabbal minnaa, innaka antas samii’ul ‘aliim.>> Artinya: “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127) Pelajaran dari doa ini sangat mendalam. Pertama, doa ini mengajarkan kerendahan hati yang luar biasa. Bahkan saat membangun Rumah Allah, mereka tidak merasa sombong



